Menu
Propellerads

Wednesday, October 4, 2017

7 LEMBAH: JALAN KEROHANIAN DALAM TASAWUF
Unknown

7 LEMBAH: JALAN KEROHANIAN DALAM TASAWUF



Haq Al-Yaqin:
Penyaksian secara batin, bahwa tuhan benar-benar satu, tiada kesangsian lagi.

Faqir:
Kesadaran tidak memiliki apapun selain DIA (Cinta) kepadanya dan karenanya bebas dari kungkungan selain DIA. 

Secara keseluruhan jalan tasawuf itu sebenarnya merupakan jalan cinta,  dan keadaan-keadaan Rohani yang jumlahnya tujuh itu tidak lain adalah keadaan-keadaan yang bertalian dengan Cinta.

TUJUH LEMBAH

Talab (Pencarian)
Dilembah ini banyak kesukaran, rintangan, godaan dijumpai oleh seorang Salik (Penempuh Jalan)

Tidak ada masalah lain baginya kecuali mengerjakan tujuan murni hidupnya.  Ia tidak mempermasalahkan lagi keimanan dan kekufuran, sebab ia telah berada dalam cinta. 

"Apabila kau gemar memilih diantara segala sesuatu yang datang dari tuhan, maka kau bukan penempuh jalan yang baik, karena keduanya berasal dari Tuhan".

"Kuasailah dirimu dan jangan biarkan kehidupan lahiriah dan jasmaniah menawan serta menyesatkanmu". 

Lembah Cinta (isyq)
"Cinta sebagai api yang bernyala terang"
"Sedangkan pikiran sebagai asap yang mengaburkannya"
"Tetapi cinta sejati dapat menyingkirkan asap"
"Cinta sejati sebagai penglihatan batin yang terang"
"Hanya dia yang telah teruji,  bebas dari dunia serta kungkungan benda-benda, berpeluang memiliki penglihatan terang, Caranya ialah dengan penyucian diri"

"Indra Tubuh adalah tangga menuju dunia
Indra Keagamaan tangga menuju Langit
mintalah kesehatan tubuh kepada dokter
namun kesehatan Jiwa dan Rohani hanya didapat dari kekasih Allah".

"Jalan rohani meruntuhkan (Hasrat) tubuh, sesudah itu rumah yang lebih megah dibangunnyaLebih baik merubuhkan rumah demi harta karun dan dengan harta itu membangun rumah baru dibanding mempertahankan rumah usang"

"Bendunglah air dan bersihkan dasar sungai, baru kau alirkan air minum didalamnya,
Belahlah kulit dan cabut bulunya, lalu segarkan kulit menutupi luka"

"Ratakanlah benteng dengan tanah, rebutlah ia dari tangan orang mungkar dan kafir,
Lalu dirikan ratusan menara dan tempat berlindung diatasnya"
(Siapakah orang mungkar dan kafir itu: dia tak lain adalah nafsumu sendiri

Dia yang menempuh jalan tasawuf hendaknya memiliki seribu hati,
Sehingga setiap saat ia dapat mengorbankan yang satu tanpa kehilangan yang lain.

Disini Cinta dikaitkan dengan pengorbanan,
ketaatan kepada seseorang yang dicintai merupakan seorang pecinta sejati.

"Malam-malam pengasingan sunyi telah berlalunamaun tak seorang dapat menyingkap rahasia seperti itu"

"Siapapun yang permohonannya dikabulkan seperti aku malam ini,  siang dan malam-malamnya akan dilalui dengan kebenaran cinta birahi"

"Pada siang hari nasibnya dicetak,  malam hari berikutnya disiapkan,  ya Tuhan,  Tanda-tanda menakjubkan apa yang kusaksikan malam ini"

"Apakah ini tanda hari kiamatakal, kesabaran, kawan sejati semua pergi"
"Cinta macam apa iniderita macam apa dan kepiluan macam apa? "

Lembah Kearifan / Makrifat
Kearifan dan pengetahuan biasa:
- Pengetahuan biasa bersifat sementara
- Kearifan ialah pengetahuan abadi,  sebab isinya  ialah tentang yang abadi. 

KEARIFAN 
Kearifan merupakan laba yang diperoleh seseorang setelah memperoleh penglihatan batin yang terang dimana ia mengenal dengan pasti hakikat tunggal segala sesuatu.

Kearifan menyebabkan sesorang selalu terjaga kesadarannya akan yang satu, waspada terhadap kelemahankekurangan dan keabaian dirinyadisebabkan godaan dan tipu muslihat yang banyak. 

MAKRIFAT
Mengetahui, Melihat, Merasakan

Makrifat dapat dicapai dengan berbagai cara diantarnya:
1. Sembahyang yang khusuk
2. Latihan kerohanian yang disiplin
3. Penyucian diri sepenuhnya dihadapan kekasih
4. Pengisian jiwa dengan pengetahuan yang bermanfaat bagi pertumbuhan Rohani.

Seseorang yang mencapai makrifat akan menerima nur (cahaya)  sesuai amal usaha dan mendapat peringkat kerohanian,  yang ditetapkan bagi dirinya dalam mengenal kebenaran illahi. 

Hakikat (ilmu yang diamalkan)  orang yang mengenal hakikat segala sesuatu akan memandang dan bersikap terhadap dunia melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan, diantaranya:

~ ia tidak lagi terpukau pada segala sesuatu yang bersifat embel-embel, sebab yang menjadi perhatiannya ialah yang hakiki. 

~ ia tidak sibuk memikirkan dirinya dan hasratnya yang rendah,  namun senantiasa asyik memandang wajah sahabat atau kekasihnya,  yang maha pengasih dan penyayang itu. 

KEARIFAN MENJADI RUSAK DISEBABKAN:
~ Dangkalnya pikiran
~ Kesedihan yang berlarut-larut,  dan
~ Kebutaan pandangan terhadap hakikat ketuhanan.

"Mata orang arif terbuka kepada yang satubagaikan bunga tulip yang kelopaknya selalu terbuka kepada cahaya matahari

Lembah kebebasan / Kepuasan (istighna
Dilembah ini tidak ada lagi nafsu memenuhi jiwa seseorang, atau keinginan mencari sesuatu yang mudah didapat dengan ikhtiar biasa, karena pandangan telah tercerahkan oleh kehadiran yang abadi. 

Maka seseorang tidak pernah melihat ada yang baru atau yang lama didunia ini,  lautan tampak setitik air ditengah wujudnya yang tak terhingga luasnya. 

Dadanya selalu lapang sebab dia mengetahui bahwa rahmat tuhan tidak akan pernah menyusut atau berkembang, tujuan hidup tak berguna ditinggalkan dan seorang merasa cukup dengan rahmat yang dilimpahkan Tuhan. 

Didunia ia hanya tinggal bekerja berikhtiar dan berusaha sesuai kemampuan dan pengetahuannya tentang sesuatu, untung rugi ia pasrahkan kepada kekasihnya.

Untuk mencapai tingkat ini seseorang harus melakukan kewjiban yang dipikulkan kepadanya tanpa beban,
seseorang mesti meninggalkan:
~ sikap acuh tak acuh
~ masabodo dan ketidak pedulian masalah keagamaan kemanusiaan dan sosial. 

Lamunan kosong dan ketidak pastian terhadap sesuatu yang tak memerlukan lamunan dan keraguan harus diganti dengan keteguhan iman haqq al-yaqin. 

ilmu 'l-yaqin nama ilmunya
ayn 'l-yaqin hasil tahunya
haqq 'l-yaqin akan katanya
muhammad nabi asal gurunya

Syariat akan ripainya
tariqat akan bidainya
haqiqat akan tirainya
makrifat yang wasil akan isainya

Dilembah keempat ini seorang mesti menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat hakiki dan utama, mengabaikan hal-hal bersifat lahiriah,  yang semata-mata menyangkut kepentingan diri sendiri. 

Dilembah ini seseorang mungkin melakukan satu kegiatan yang bermakna,  tetapi ia tidak menyadari ia tidak perlu menyombongkan diri. 

Lupakan segala yang telah kau perbuat,  berikhtiarlah untuk bebas dan cukupkan dengan dirimu sendiri,  meskipun kau kadang mesti menangis dan bergembira terhadap hasil-hasilnya. 

Dilembah keempat ini cahaya kilat kesanggupan yang merupakan penemuan sumber-sumber dirimu sendiri,  kecukupan dirimu menyala begitu terang dan membara hingga membakar penglihatanmu pada dunia.

Lembah Tauhid
Dilembah ini semuanya pecah berkeping-keping kemudian menyatu kembali,  semua yang tampak berlainan dan berbeda kelihatan berasal dari hakikat yang sama. 

Jadi dilembah ini seseorang menyadari bahwa hakikat wujud yang banyak itu sebenarnya satu,  maksudnya manifestasi cinta yang satu yaitu al-rahman al-rahimnya

Lembah Hayrat (ketakjuban)
Disini kita menjadi mangsa ketakjuban yang menyilaukan mata,  sehingga seolah-olah kita tenggelam dalam kebingungan dan timbul rasa duka yang tak terkira. 

Betapa tidak: siang berubah menjadi malam,  malam berubah menjadi siang,  kemalangan tampak sebagai keberuntungan,  dan keberuntungan sebagai kemalangan, untung rugi tak jelas batasnya.

Orang yang mencapai lembah tauhid pada mulanya akan lupa atas segalanya, kemudian sadar bahwa bersama dirinya ialah satu, tetapi dia tidak tahu siapa yang bersamanya dengan dirinya. 

Jika orang berada dilembah ini ditanya, dia akan menjawab: aku tak tahu apa ini fanna (lenyap) atau baqa (hidup kekal) dalam dia aku tak tahu apa ini nyata atau tak nyata, aku sedang bercinta tetapi tidak tahu dengan siapa bercinta.

KISAH PUTRI RAJA YANG MENCINTAI HAMBANYA:
Hamba disini melambangkan seorang salik yang tak memikirkan apa-apa lagi,  yang terpenting mengabdi dan karena hanyutnya dalam pengabdiannya maka dia memancarkan keindahan luar biasa

Putri raja diam-diam jatuh cinta kepadanya dan dengan dibius oleh dayang-dayangnya maka hamba itupun dibawa keperaduan sang putri,
diberi minuman dan makanan lezat, dihidangi tari-tarian dan musik indah sebelum keduanya beradu.

Hamba tersebut mengalami semua itu antara sadar dan tak sadar.

Lembah faqir dan fana
FAQIR:
Tidak memiliki apa-apa lagi, semuanya sudah terampas dari dirinya, kecuali CINTANYA kepada yang satu. 

Karena jiwanya hanya terisi olehnya, maka dia sanggup mengorbankan diri asal saja diperintahkan oleh kekasihnya. 

Kefaqiran menerbitkan keberanian menentang yang selain DIA, sebagai mana dimanifestasikan dalam semangat jihad, futuwwa semangat satria pandita. 

FANA:
Ialah persatuan mistik, manunggaling kawula gusti atau "Unio-mistica" ,  keadaan ini disusul dengan baqa yaitu: pengalaman hidup kekal dalam Tuhan. 

Apabila seseorang telah mencapai tahap ini, dia akan mengenal dirinya yang hakiki, dirinya yang universal dan dengan demikian mengenal dengan sungguh-sungguh asal kerohaniannya.

Hadist yang mengatakan:
"Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya"

Disini seseorang mengenal bahwa dirinya benar-benar mahluk Rohani, bukan sekedar mahluk jasmani dan nafsani,  dia menyadari bahwa secara esensial manusia memang mahluk kerohanian, sebagai khalifah tuhan menjadi perantara antara alam rendah dan alam tinggi.

KISAH SIMUGH
Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa, burung-burung itu menyusut dalam fana,

Sedangkan mereka menjelma debu, setelah dimurnikan merekapun memperoleh kehidupan baru dari cahaya illahi,

Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba yang berjiwa segar,  sekali lagi dijalan lain mereka binasa dalam ketakjuban,

Laku dan diam mereka dimasa silam, enyah dan hapus dari lubuk dada mereka,

Matahari kehampiran bersinar terang dari diri mereka, jiwa mereka semuanya diterangi oleh cahaya itu

Dalam pantulan wajah tiga puluh burung simugh dunia, mereka lantas menyaksikan wajah simugh,

Jika mereka memandangnya, ya itulah simugh, tak syak lagi simugh adalah tiga puluh burung,

Semua bingung, terpesona dan takjub, mereka tak tahu apakah mereka ini ataukah itu, mereka memandang diri mereka tiada lain kecuali simugh

TAHUKAH KAU APA YANG KAU MILIKI? 
Masuklah kedalam dirimu sendiri dan renungkan ini:
Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu, selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu, serta kesombongan dan cinta diri yang berlebihan? 

Kau tidak akan mencapai puncak keabadian dijalan tasawuf, kau mula-mula akan dicampakkan kedalam lembah kehinaan,  kemudian baru kau akan diangkatnya kepuncak gunung kemulyaan. 

PENGETAHUAN TENTANG DIRI
Siapakah anda?
Dari mana anda datang? 
Kemana anda akan pergi?
Apa tujuan anda datang serta tinggal sejak disini? 
Dimanakah letak kebahagiaan anda?

Satu pengetahuan kita timbul dari kajian dan renungan atas jasad kita sendiri, yang menampakkan kepada kita kebijaksanaan, kekuatan serta cinta sang pencipta.

Manusia dengan tepatnya disebut alam al-saghir (jagad cilik) dalam dirinya, tetapi diatas segalanya pengetahuan tentang jiwa dan kerohanian manusia lebih penting sebab pengetahuan semacam itulah yang dapat membawa kita sampai kepada pengetahuan tentang tuhan. 


Wallahu  A'lam  Bish-shawab
Continue reading →

Saturday, September 30, 2017

MASIH BERANIKAH KAMU BERBURUK SANGKA?
Unknown

MASIH BERANIKAH KAMU BERBURUK SANGKA?



Pada masa kekhalifahan beliau, Umar bin Khatab adalah khalifah yang selalu berjalan tengah malam untuk mengetahui keadaan kota dan keadaan rakyatnya.

Dengan inspeksi langsung inilah amirul mukminin kedua ini dapat mengetahui kondisi rakyatnya secara sebenar-benarnya.

Masa telah lewat malam saat beliau melewati sebuah rumah yang dari luar terdengar seorang pria di dalam rumah yang sedang asyik tertawa. Semakin beliau mendekat, beliau juga mendengar suara gelak tawa wanita.

Khalifah Umar bin Khatab mengintip rumah tersebut lalu memanjat jendela dan masuk ke rumah tersebut. Beliau menghardik pria tersebut dengan berucap:

“Hai hamba Allah! Apakah kamu mengira jika Allah akan menutup aib dirimu sedangkan kamu berbuat maksiat!!”

Pria yang dihardik tersebut tetap tenang dengan lalu menjawab tuduhan Umar dengan berkata:

“Wahai Umar, jangan terburu-buru, mungkin hamba melakukan satu kesalahan, tapi anda melakukan tiga kesalahan,” jawab pria itu. Umar bin Khatab hanya terpaku, si pria meneruskan bicara.

“Yang pertama, Allah berfirman:
Jangan kamu (mengintip) mencari-carai kesalahan orang lain (Al Hujurat:12)

Dan anda telah melakukan hal tersebut dengan mengintip ke dalam rumah hamba,” kata pria tersebut.

“Yang kedua, Allah berfirman:
Masuklah ke rumah-rumah dari pintunya (Al Baqarah: 189)

Dan anda tadi menyelinap masuk ke dalam rumah hamba melalui jendela,” papar pria tersebut.

“Dan yang ketiga, anda sudah memasuki rumah hamba tanpa ijin,

Padahal Allah berfirman:
Jangan kamu masuk ke rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin (An-Nur: 27),” lanjut si pria

Menyadari bahwa dirinya juga salah,
Umar lantas berkata:
“apakah lebih baik disisimu jika aku memaafkanmu?”

Lantas pria tersebut menjawab:
“Ya, amirul mukminin”.

Umar pun memaafkan pria tersebut dan berpamitan pergi dari rumah tersebut.

Dari cerita diatas, dapat kita tengok bahwa seorang imam besar, pemimpin umat seperti amirul mukiminin Umar bin Khatab yang tersohor tersebut mau mendengarkan nasehat orang lain, bahkan orang yang bersalah.

Nasehat itu tidak perlu dilihat siapa yang berkata, namun harus dilihat apa yang dinasehatkan. Selain itu kita juga harus selalu mengembangkan prasangka baik kepada siapapun, terutama saudara sasama muslim.

Janganlah mencari-cari kesalahan mereka.
Misalnya, tidak berjumpa di pengajian, kita sudah berpikir bahwa ia lalai dari mengingat Allah, tidak jumpa di shalat Jum’at, ia kita anggap mementingkan dunia.

Bahkan ketika kita melihat pria sedang bersenda gurau dengan lawan jenis, kita anggap bahwa dia telah terkunci mata hatinya.

Dengan prasangka seperti itu, bisa jadi kita telah melakukan kesalahan yang lebih besar dibandingkan saudara kita tersebut. Oleh karena itu mari kita kembangkan sikap berprasangka baik kepada siapapun.


Wallahu A'lam Bish-Shawab
Continue reading →

Friday, September 29, 2017

TAWADHU'NYA SUFI SEJATI : SYEKH AMIR BIN ABDULLAH AT-TAMIMYI RA
Unknown

TAWADHU'NYA SUFI SEJATI : SYEKH AMIR BIN ABDULLAH AT-TAMIMYI RA



"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal"

Salah satu tabi'in yang dikenal zuhud adalah Amir bin Abdullah At-Tamimi. Nama At-Tamimi pada akhir namanya merupa­kan penunjuk bahwa ia berasal dari Bani Tamim, suku Arab asli di Hijaz.

Pada waktu muda, dia mengabdikan dirinya dan sekaligus berguru kepada Abu Musa Al-Asy'ari, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang pada waktu itu menjadi gubernur Bashrah. Karena itulah, hidupnya hanya untuk beribadah, berjuang membela Islam, dan menuntut ilmu. Tiga hal itulah yangmembuatnya dikenal sebagai ahli zuhud di kota Bashrah.

Seorang penduduk Bashrah men­ceritakan kehidupan Amir bin Abdullah, "Aku pernah mengikuti perjalanan se­buah kafilah yang di dalamnya ada Amir bin Abdullah at-Tamimi. Ketika malam tiba, kami beristirahat di bawah pepo­honan besar dekat sumber air.

Saat itu­lah Amirmembereskan perbekalannya, kemudian mengikat kudanya pada se­buah pohon. Tali kuda itu sengaja dibuat panjang. Dia juga mengumpulkan rum­put yang dapat mengenyangkan kuda. Setelah itu ia memasuki sela-sela pepo­honan dan menjauh dari kami.

Melihat itu aku berkata dalam hati, `Demi Allah, akan aku ikuti dan perhati­kan apa yang dia kerjakan dalam belukar pada malam-malam seperti ini.

Dia terus menelusuri semak belukar hingga sampai pada sebuah tempat yang terselubungi oleh pepohonan dan tak terlihat oleh orang lain. Kemudian ia berdiri tegak menghadap kiblat dan shalat. Baru kali ini aku melihat sese­orang shalat dengan sempurna dan khu­syu' seperti itu.

Karena kelelahan setelah menem­puh perjalanan panjang pada siang tadi, kantuk berat menyerangku,sehingga tertidur. Setelah sekian lama aku terlelap da­lam tidur, aku pun bangun. Sementara itu Amir masih tetap berdiri shalat dan bermunajat hingga fajar menjelang."


Gentong Penuh Permata
Setiap kali seruan jihad memanggil, Amir termasuk pelopor dalam menyam­butnya. Dia mujahid yang banyak ber­peran saat perang berkecamuk. Dengan gagah berani, dia
menembus barisan musuh. Namun dia tidak berhasrat untuk mendapatkan ghanimah
(rampasan perang).

Ketika Sa'ad bin Abi Waqqash, pang­lima Perang Qadisiyah, berhasil menun­dukkan persia, dia memerintahkan pe­tugas untuk mengumpulkan dan menghi­tung ghanimah. Banyak
sekali harta ke­kayaan, perhiasan, dan barang-barang berharga yang dikumpulkan. Seperlima dikirim ke baitul mal dan sisanya dibagi­kan kepada para mujahidin.

Saat para petugas menghitung harta rampasan dengan disaksikan langsung oleh kaum muslimin, tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka seorang lelaki berambut kumal penuh debu membawa sebuah gentong besar.

Dengan takjub mereka memperhati­kan. Ternyata gentong itu penuh dengan batu permata dan intan berlian. Mereka belum pernah mendapatkan harta ram­pasan perang yang sepadan dengan­nya. Maka mereka pun bertanya kepada lelaki itu, "Dari mana engkau dapatkan harta simpanan yang sangat berharga ini?"

"Aku dapatkan pada peperangan ini di tempat ini," jawabnya singkat.

"Apakah engkau mengambil bagi­an?" tanya mereka.

"Demi Allah, gentong ini dan segala yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tak senilai dengan ujung kuku sama sekali.

Sekiranya tidak ada hak baitul mal di dalamnya, tentu tak akan aku angkat dan
aku gendong ke tengah-tengah kalian," jawab lelaki itu.

"Siapakah engkau," tanya mereka penasaran.
"Tidak, demi Allah, aku tak akan memberi tahu kalian, juga orang lain, agar kalian
tidak memuji dan menyan­jungku. Aku hanya memuji dan menyan­jung Allah serta mengharap pahala dari Nya," kata lelaki itu seraya berlalu me­ninggalkan mereka.

Terdorong oleh rasa penasaran yang amat sangat, mereka mengutus sese­orang untuk membuntuti dan mencari in­formasi tentang lekaki itu. Tanpa sepengetahuannya, lelaki itu terus diikuti hingga tibalah ia di tengah sahabat-sahabatnya.

Ketika orang yang membuntuti itu menanyakan perihal lelaki tersebut ke­pada mereka, mereka menjawab, `Tidak­kah engkau mengetahuinya? Dialah ahli zuhud kota Bashrah, Amir bin Abdullah At-Tamimi."

Lidah Basah dengan Dzikrullah
Amir menghabiskan sisa hidupnya di negeri Syam dan memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal.Ketika sakitnya makin berat, para sa­habatnya menjenguk dan mendapatinya sedang menangis.

Mereka pun bertanya, "Apakah yang menjadikan engkau menangis? Bukan­kah engkau orang yang begini dan be­gitu (menyebutkan berbagai macam ke­baikan)."

"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalan­an dan sedikitnya bekal. Apa yang telah aku jalani, antara
naik dan turun, ke sur­ga atau ke neraka, aku tak tahu ke mana aku akan kembali."
Kemudian dia mengembuskan nafas terakhir. Sementara lidahnya basah de­ngan dzikrullah.

Amir bin Abdillah At-Tamimi mening­gal pada masa pemerintahan Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, sekitar akhir abad pertama Hijriyyah. la dimakamkan di Baitul Maqdis

Continue reading →

Thursday, September 28, 2017

KOPIAH WASIAT  AL-AZIZAN: SYEKH MUHAMMAD BAHAUDDIN AN-NAQSABANDIY RA.
Unknown

KOPIAH WASIAT AL-AZIZAN: SYEKH MUHAMMAD BAHAUDDIN AN-NAQSABANDIY RA.



Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy Ra.
Adalah seorang Wali Qutub yang masyhur hidup pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan, Bukhara, Rusia. Beliau adalah pendiri Thoriqoh Naqsyabandiyah sebuah thoriqoh yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan jama’ah dan tersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.

Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.

Di dalam asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan” yang membuat cita-citanya untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin meningkat dan bertambah kuat.

Hingga pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah)”.

Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang kasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a seperti ini:
Ya Allah berilah aku apa saja yang Engkau ridhoi, karena Allah tidak ridho jika hamba-Nya terkena bala' dan kalau memberi cobaan,  maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman terhadap hikmah nya 
Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.

Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin seringkali berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia.

Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk bercakap-cakap.

Saat itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, 
He,  sekarang kamu sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah) 
Setelah mendengar suara tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya, tubuhnya menggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana kemari seperti orang bingung.

Setelah merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua rokaat. Dalam sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa, seolah-olah beliau berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.

Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab yang pertama kali beliau mendengar suara, “Mengapa kamu menjalankan thoriq yang seperti itu ? “Biar tercapai tujuanku’, jawab Syekh Muhammad Bahauddin.

Terdengar lagi suara, “Jika demikian maka semua perintah-Ku harus dijalankan. Syekh Muhammad Bahauddin berkata “Ya Allah, aku akan melaksanakan semampuku”, dan ternyata sampai 15 hari lamanya beliau masih merasa keberatan.

Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang apa yang ingin kamu tuju ? Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.

Hingga pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’, beliau melihat lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang.

Tak lama kemudian ada isyarat untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti tadi, sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”

Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan tanpa sadar beliau melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah terlihat sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang berkilau.

Disamping kanan dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat, Syekh Muhammad Baba.
Salah satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya.

Lalu ada yang menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh Mahmud al Anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup telah menjadi gurumu. 

Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin,
“Sesunguhnya lampu yang kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk menerima thoriqoh ini,
akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah kesungguhan sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus betul-betul menjalankan 3 perkara :

1. Istiqomah mengukuhkan syariat.

2. Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.

3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada perilaku Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.

Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana nanti haturkanlah kejadian pertemuan ini.

Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri”.

Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan “kopiah wasiat al Azizan” pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan mendidiknya.

Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri. Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw, dan para sahabat.

Setelah semua perintah dari Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar dijalankan dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailaniy.

Syekh Yusuf al Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata hidup ya langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al Busthomi naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra.

Adapun dzikir sirri itu asalnya dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di hadapan Syekh Sodruddin. Pada saat sampai ayat, “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru dan menyamarkan diri”

Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy /dzikir sirri dan kaifiyahnya itu ? jawab sang guru : o, itu ilmu laduni dan insya Allah kamu akan diajari dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi pelajaran langsung adalah nabi Khidhir as.

Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang sahabat karib yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul. Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut.

Lalu berbicara tentang ma’rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah “kalau sekarang pembicaraan kita sampai seperti ini berarti sudah sampai derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika”.

Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid, “matilah kamu!, Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.
Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan, apalagi melihat mayat temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari.

Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad, berkatalah ahyi(hiduplah kamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata ahyi sebanyak 3 kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit hingga kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.

Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata, “Ketika aku disuruh guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di udara.

Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan terbang tersebut aku bertemu dengan guruku. Semenjak itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai saat ini”.

Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah.

Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika. Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.
Continue reading →

Wednesday, September 27, 2017

PANGERAN KAUM SUFI: ABUL QASIM AL-JUNAIDY AL-BAGHDADI
Unknown

PANGERAN KAUM SUFI: ABUL QASIM AL-JUNAIDY AL-BAGHDADI



Dalam kitab Tadzkiratul Auliya, Syeikh Fariduddin ‘Aththar menjelaskan, bahwa Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi) adalah putra dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi. Beliau lahir dan besar di Irak.

Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).
Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam Islam.

Ia menjelaskan teori-teorinya dalam pengajaran-pengajarannya, serta dalam serangkaian suratnya yang hingga kini masih ada, yang ditujukan kepada sejumlah tokoh pada masanya.

Abul Qasim Al-Junayd merupakan pemimpin sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh. Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i.
Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun 297H/910M.

Masa Kecil Junayd Al-baghdadi
Sejak kecil, Junayd telah memiliki kedalaman spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin, bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi yang tajam.

Suatu hari, ia pulang ke rumah dari sekolah. Ia menemukan ayahnya tengah menangis.
“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Junayd.
“Ayah ingin memberikan sedekah kepada pamanmu, Sarri,” tutur sang ayah. “Namun ia tidak mau menerimanya.

Ayah menangis karena ayah telah mencurahkan seluruh hidup ayah untuk dapat menyisihkan uang lima dirham ini, namun ternyata uang ini tidak memenuhi syarat untuk dapat diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”
“Berikan uang itu kepadaku dan aku akan memberikannya kepada paman Sarri. Dengan begitu, ia mungkin mau menerimanya,” kata Junayd.

Sang ayah memberikan uang itu kepadanya, lalu Junayd pun pergi. Sesampainya di rumah pamannya, Junayd mengetuk pintu.

“Siapa itu?” terdengar suara dari dalam rumah.

“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka pintu dan terimalah tawaran sedekah ini.

“Aku tidak menerimanya,” pekik Sarri.

“Aku mohon, terimalah ini, demi Allah Yang telah begitu dermawan padamu dan telah bagitu adil pada ayahku,” pekik Junayd.

“Junayd, apa maksudmu Allah begitu dermawan kepadaku dan begitu adil kepada ayahmu?” Tanya Sarri.

Junayd manjawab, “Allah begitu dermawan padamu karena Dia menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah telah begitu adil dengan menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia.

Engkau memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan Allah padanya kepada orang yang berhak.

Jawaban Junayd ini menyenangkan hati Sarri. “Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini, aku telah lebih dulu menerimamu,” ujar Sarri.

Setelah berkata begiru, Sarri membuka pintu dan menerima sedekah itu. Ia menempatkan Junayd di tempat yang istimewa dalam hatinya.
Junayd baru berusia tujuh tahun saat Sarri mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram, masalah syukur tengah dibahas oleh empat ratus syeikh. Masing-masing syeikh mengemukakan pandangannya.

“Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada Junayd.
Junayd berkata, “Syukur berarti engkau tidak bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu, juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai sumber ketidak-taatan pada-Nya.

“Bagus sekali, benar-benar merupakan pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik para syeikh itu.

Keempat ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak ada definisi syukur yang lebih baik daripada apa yang telah dikatakan oleh Junayd.
“Anakku,” ujar Sarri, “segera tiba saatnya, lidahmu menjadi sebuah karunia istimewa dari Allah untukmu.”

Junayd menangis tatkala
mendengan pamannnya berkata begitu.
“Darimana engkau belajar?” tanya Sarri.
“Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.

Junayd lalu kembali ke Baghdad dan menjadi penjual barang pecah belah. Setiap hari ia pergi ke tokonya, menutup tirai toko, lalu mendirikan shalat empat ratus rakaat.
Selang bebenapa lama, Ia akan meninggalkan tokonya dan pergi kesebuah ruangan di serambi rumah Sarri.

Disana ia menyibukkan diri dengan penjagaan hati. Ia menghamparkan “sajadah wara’”, sehingga tak ada sesuatu pun yang terlintas di pikiran selain Allah.

Junayd Menunjukkan Bukti
Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun, ia mendirikan salat malam, lalu berdiri dan mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh dengan wudlu yang ia lakukan pada malam sebelumnya.

Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun berlalu, kesombongan merasuki diriku; aku merasa telah mencapai tujuanku. Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari langit berbicara padaku, “Junayd, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk memperlihatkan padamu ikatan korset bagimu.”
Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku pun berseru, “Ya Allah, dosa apa yang telah dilakukan oleh Junayd?”

Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau tanyakan itu? Apakah engkau ingin mencari-cari dosa yang lebih menyedihkan daripada apa yang engkau perbuat?” Junayd menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya.

Ia berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga untuk penyatuan, segala perbuatan baiknya adalah dosa.”

Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil memekik “Allah... Allah...” sepanjang malam.
Lidah-lidah panjang para pemfitnah menyerangnya dan tingkah lakunya dilaporkan kepada Khalifah.

“Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Khalifah.
Mereka (Para pemfitnah menyatakan, “Banyak orang tergoda oleh kata-katanya.”
Sang Khalifah mempunyai seorang budak wanita yang kecantikannya tak ada duanya.

Sang Khalifah sangat mencintainya, ia membeli budak wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang Khalifah memerintahkan
agar budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan perhiasan-perhiasan mahal.
Sang Khalifah memberikan instruksi kepada budak wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junayd dan perlihatkan wajahmu.

Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku memiliki harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah dengan urusan-urusan duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku, agar dengan bimbinganmu aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya.

Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu padanya. Perlihatkan kecantikanmu, dan berusahalah sekuat tenaga untuk membujuknya.”

Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan apa-apa yang telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junayd memandang budak wanita itu.

Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu mengulangi ceritanya. Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak.
“Ah,” serunya sambil menghembuskan napasnya ke arah budak wanita itu. Seketika budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.

Pelayan yang menemaninya kembali menemui Khalifah dan melaporkan apa yang telah terjadi. Jiwa sang Khalifah serasa terbakar dan ia bertobat atas yang telah ia lakukan.
Sang Khalifah berkata, “Ia, yang memperlakukan orang lain tidak sebagaimana mestinya, melihat apa yang harusnya tidak ia lihat.”

Sang Khalifah kemudian bangkit dan memerintah pembantunya untuk memanggil Junayd. “Sungguh seseorang yang tak dapat dipanggil untuk menghadap,” komentarnya.

Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana engkau tega membunuh seseorang yang begitu cantik?”

Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu sendiri!”

Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd berjalan dengan baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh penjuru dunia. Seberapapun seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat seribu kali lipat.

Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan, “Aku tidak berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku bahwa aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.”

Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku duduk menjaga hatiku. Kemudian selama sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah genap duapuluh tahun dimana aku tidak mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”
Ia melanjutkan, “Selama tiga puluh tahun, Allah berbicara kepada Junayd dengan lidah Junayd, Junayd tidak berada disana sama sekali, namun manusia tidak mengetahuinya.”

Junayd Berkhotbah
Saat lidah Junaid telah mahir mengutarakan kata-kata yang menakjubkan, Sarri as-Saqathi mengatakan kepadanya bahwa telah wajib, baginya untuk berkhotbah dimuka umum.

Awalnya Junaid merasa ragu, tidak ingin melakukan hal itu. “Saat ada sang guru, tak pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” kata Junaid mengutarakan keberatannya.
Sampai akhirnya pada suatu malam, Junayd bertemu dengan Nabi Saw. Dalam mimpinya. “Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw.

Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid pun bangkit dan hendak pergi menemui Sarri untuk menceritakan mimpinya. Namun, ketika hendak keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri didepan pintu.

Sarri berkata, “Sampai saat ini, engkau masih ragu-ragu, menunggu orang-orang lain memintamu untuk berkhotbah. Kini engakau harus bicara (berkhotbah di muka umum), karena kata-katamu telah dijadikan sarana bagi keselamatan seluruh dunia.”

Engkau tidak mau bicara saat para murid membujukmu untuk bicara.
Engkau tidak mau bicara saat para syeikh kota Baghdad memintamu untuk bicara. Engkau juga tidak mau bicara kendati aku telah mendesakmu untuk bicara. Sekarang, Nabi Saw. Telah memerintahkanmu untuk bicara, maka engkau harus bicara.”
“Ya Allah, maafkanlah hamba,” tutur Junaid “Paman, bagaimana engkau tahu kalau aku bertemu dengan Nabi Saw dalam mimpiku?”

Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan Allah dalam mimpiku. Dia berkata, ‘Aku telah mengutus Rasul-Ku untuk meminta Junayd berkhotbah di atas mimbar’.”
“Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata Junaid kemudian. “Namun dengan satu syarat, yang hadir tidak lebih dari empat puluh orang.”

Suatu hari, Junayd berkhotbah di hadapan empatpuluh orang hadirin. Delapan belas orang di antaranya meninggal dunia dan duapuluh dua orang lainnya jatuh ketanah tak sadarkan diri. Mereka kemudian diangkat dan dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing.
Dilain hari, Junayd berkhotbah. Diantara hadirin ada seorang pemuda Kristen, namun tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa pemuda itu beragama Nasrani.

Pemuda itu mendekati Junayd dan berkata, “Nabi bersabda, ‘berhati-hatilah terhadap pengetahuan orang yang beriman, kanena ia melihat dengan cahaya Tuhan’.”
Junayd menjawab, “Yang benar adalah engkau harus menjadi seorang Muslim dan memotong korset Nasranimu, kanena ini adalah acara khusus bagi Muslim.”
Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang Muslim.

Setelah Junayd berkhotbah beberapa kali, masyarakat menyuarakan penentangannya. Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah dan kemudian kembali ke kamarnya. Ia didesak untuk terus berkhotbah namun ia menolak.

“Sudah cukup,” katanya. “Aku tidak dapat mengusahakan kehancuranku sendiri.”
Beberapa waktu kemudian, Junayd naik ke mimbar dan mulai berkhotbah tanpa pemberitahuan sebelumnya.

“Kebijaksanaan apa yang terdapat di dalam apa yang engkau perbuat ini?” ia ditanya.
Junayd menjawab, “Aku menemukan sebuah hadist di mana Nabi Saw. bersabda, ‘Pada akhir zaman, yang menjadi juru bicara suatu masyarakat adalah orang yang terburuk di antara mereka. Ia akan berkata pada mereka, Aku tahu bahwa aku adalah orang yang terburuk di antara kalian. Aku berkhotbah karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Dengan begitu, aku tidak menentang kata-kata beliau.”

Al-Jurairy mengabarkan, “Aku baru saja pulang dan Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar tidak mengangan-angan diriku. Aku Ialu memberi salam kepadanya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada shaf di belakangku. Aku berkata, ‘Aku mendatangimu kemarin hanya supaya engkau tidak mengharap harap diriku.’ Ia menjawab, ‘Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu’.”
Continue reading →

Sunday, September 24, 2017

PRINSIP IBADAH YANG BELUM BANYAK DIKETAHUI OLEH ORANG
Unknown

PRINSIP IBADAH YANG BELUM BANYAK DIKETAHUI OLEH ORANG



Jangan lakukan kecuali yang diperintahkan, jangan ditambah atau dikurangi maka disebut ibadah mahdhah, dan hubungannya bersifat vertikal  antara hamba dengan Tuhan
contoh: haji,  sholat, wudhu dan lain-lain

Silahkan melakukan apa saja kecuali yang dilarang maka disebut ghairu mahdhah (muamalah) hubungannya bersifat horizontal antara sesama makhluk
contoh: jangan mencuri, menyakiti sesama, riba dan lain-lain          ==>:{Cak Nun}:<==

A. Pengertian Ibadah
Secara etomologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, hatta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya:


وما خلقت الجن والانس الا ليعبدونِ       الذريات 56

Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu (QS. 51(al-Dzariyat ): 56).
B. Jenis 'Ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya;

1. ' Ibadah Mahdhah,
artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubung an antara hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip:

a. Ada dalil / perintah
Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.

b. Berpola
Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله … النسآء 64
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 4: 64).
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…الحشر 7
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda:
صلوا كما رايتمونى اصلى .رواه البخاري   . خذوا عنى مناسككم  .

Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara meng-ada-ada, yang populer disebut bid’ah:  Sabda Nabi saw.:
من احدث فى امرنا هذا ما ليس منه فهو رد . متفق عليه .  عليكم بسنتى وسنة الخلفآء الراشدين المهديين من بعدى ، تمسكوا بها وعضوا بها بالنواجذ ، واياكم ومحدثات الامور، فان كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة  . رواه احمد وابوداود والترمذي وابن ماجه ،  اما بعد، فان خير الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد  ص. وشر الامور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة . رواه مسلم

Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka:
ذرونى ما تركتكم، فانما هلك من كان قبلكم بكثرة سؤالهم واختلافهم على انبيآئهم، فاذا امرتكم بشيئ فأتوا منه ماستطعتم واذا نهيتكم عن شيئ فدعوه . اخرجه مسلم

c.  Supra rasioanal
Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

d. Taat
Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi:

Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
1. Wudhu,
2. Tayammum
3. Mandi hadats
4. Adzan
5. Iqamat
6. Shalat
7. Membaca al-Quran
8. I’tikaf
9. Shiyam ( Puasa )
10. Haji
11. Umrah
12. Tajhiz al- Janazah

Rumusan Ibadah Mahdhah adalah
“KA + SS”
(Karena Allah + Sesuai Syari’at)

2. Ibadah Ghairu Mahdhah
(tidak murni semata hubungan dengan Allah)  yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya .  Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:

a. Tidak berdalil
Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diseleng garakan.

b. Tidak berpola
Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.

c. Rasional
Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik buruknya, atau untung ruginya, manfaat atau mudharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan,  dan mudharat, maka tidak boleh dilaksanakan.

d.  Manfaat
Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

Rumusan Ibadah Ghairu Mahdhah
“BB + KA”
(Berbuat Baik +  Karena Allah)

3. Hikmah Ibadah Mahdhah
Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:

a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang)
Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana  untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya  (QS. 2: 144).

b. Tawhiedul harakah (kesatuan gerak)
Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.

c. Tawhiedul lughah (kesatuan ungkapan atau bahasa)
Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.

Ibadah Ghairu Mahdhah Meliputi Perkara Muamalah, Kebiasaan Atau Adat
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan.
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb).

Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf. Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf [7]:199)

Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج     )

Artinya; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)

Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ     .

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Imam Suyuthi berkata: “mengenai hadits “bid’ah dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf [46]:25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, atau firman Allah “sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama” (QS As Sajdah [32]:13) dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, (ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Imam Nawawi juga berkata,
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ     .
“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dholalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Imam Nawawi menjelaskan pengecualian bid’ah atau bid’ah yang diperbolehkan adalah perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan yang baik atau contoh (suri tauladan) dalam kebiasaan yang baik yang disebut dengan sunnah hasanah, kebalikannya adalah sunnah sayyiah yakni perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan yang buruk atau contoh (suri tauladan) dalam kebiasaan yang buruk

Imam Nawawi mengatakan:
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau shallallahu alaihi wasallam : “setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

Al Imam Al Hafiz Al-Qurthubi mengatakan:
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan setiap bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa, “Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i“

Jadi perbedaan antara sunnah hasanah dengan sunnah sayyiah adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok syar’i yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Kesimpulannyai bid’ah hasanah adalah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan syara’ atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Sedangkan bid’ah dholalah adalah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan syara’ atau bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah ditambah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah yakni mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya.

Contoh perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah atau perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam Islam atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama (urusan kami).

Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”

Tidak boleh sholat subuh tiga rakaat walaupun menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih,
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.

Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.

Jadi terlarang mengangap baik sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.

Semua kewajiban dan larangan bersumber dari Allah Azza wa Jalla dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan hasil akal pikiran manusia.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).

Jadi inti dari agama adalah perintahNya dan laranganNya. Apa pun yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah perintahNya dan begitupula apa pun yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah laranganNya.

Rasulullah mengatakan,
“Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).

Dari Miqdam bin Ma’dikariba Ra. ia berkata: “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;
“Hampir tiba suatu zaman di mana seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas kursi kemegahannya, lalu disampaikan orang kepadanya sebuah hadits dari haditsku maka ia berkata: “Pegangan kami dan kamu hanyalah kitabullah (Al-Qur’an) saja. Apa yang dihalalkan oleh Al-Qur’an kami halalkan. Dan apa yang ia haramkan kami haramkan”.

(Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya): “Padahal apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam samalah hukumnya dengan apa yang diharamkan Allah Subhanhu wa Ta’ala”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Segala perkara terkait dengan dosa adalah merupakan hak Allah Azza wa Jalla untuk menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.

Perkara yang terkait dengan dosa adalah,
1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)
2. Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)

PerintahNya meliputi perkara wajib yakni perkara yang jika ditinggalkan berdosa dan perkara sunnah (mandub) yakni perkara yang jika dikerjakan berpahala dan jika dtinggalkan tidak berdosa atau tidak apa apa

LaranganNya meliputi perkara haram yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar berdosa dan perkara makruh yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar tidak berdosa atau dibenciNya dan jika ditinggalkan berpahala. Selebihnya adalah perkara mubah (boleh) yakni perkara yang tidak diperintahkanNya maupun tidak dilarangNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa risalah atau agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa) dan selebihnya adalah apa yang telah dibolehkanNya. Allah ta’ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu(dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan olehan-Nawawi)

Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islamitu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)

Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata,
“Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”

Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.

Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah aram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmuitu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)

Kesimpulannya, yang dimaksud dengan “telah sempurna agama Islam” adalah telah sempurna atau telah tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang dibolehkanNya atau selebihnya hukum asalnya adalah mubah (boleh) Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam[19]:64)

Pada Hakikatnya Segala Sesuatu Pada Dasarnya Mubah (boleh)
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.

Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh).

Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)

“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)

“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)

Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.
Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Continue reading →